9/08/2016

Sebuah Kisah dari Si Aku #1


Adalah ia yang dalam kefitrahannya terlampau melebihi syariatnya..
            Adalah ia yang dalam khilafnya terlampau mendominasi..
            Sedang keilmuannya mampu menghalau segala fitrah yang mulai tak terkendali dan
            Khilaf yang sudah tak karuan merajai

Ia adalah insan biasa, berada dalam pengharapan kedua orangtuanya menjadi “Sholihah”, menjadi partner dunia yang saling mengikhlaskan dalam do’a bersama di syurga, do’a berkeluarga kembali di firdausNya.. namun laku perbuatannya tidak ada yang mewakili pengharapan orang yang dikasihinya. Namun akhlaqnya jauh dari kata karimah, ah jangankan karimah, bisa jadi tiada kebaikan dalam dirinya..
Yaa, ia adalah aku.. dalam penilaian diri yang ternyata minus, bukan cukup namun minus. Maka adalah sangat bodoh apabila keberadaan diri, dhaifnya ini mempunyai sedikit ujub yang tiada hal yang mengharuskan ia ujub..
Inilah hijrah dalam mujahadah yang tiada akhir
Inilah hijrah dalam mujahadah sebagai seorang hamba
Dalam cita-cita besar sebagai ibadullah sejati
Hingga tercapai cita dari karantina dunia..
Bertemu denganNya .. Menjadi keluargaNya..
Inilah ia si “aku” yang masih dalam perbaikan laku
***
Tentang menemukan dan ditemukan, ia adalah suatu perjalanan. Perjalanan yang sudah terdapat goresannya di lauhul mahfudz sana. Maka tentang menemukan dan ditemukan, hal ini bukan tentang siapa tapi tentang bagaimana. Bagaimana perjalanan ini, penantian ini, apakah penuh dengan berkebaikan atau menanti dengan penuh kerisauan sehingga tiada progresifitas dalam memperbaiki diri. Risau adalah wajar dan pasti kita semua selalu dalam kerisauan, entah terkait dengan siapa atau tentang bagaimana jikalau perbaikan ini tiada berakhir dan Allah memberi jeda yang semakin lama pabila si kebaikan itu tak jua menjadi nama belakang kita. Dan ini menjadi bagian penting dalam episode perjuangan menempuh setiap karantina di fananya dunia. Inilah ia atau si “aku” dengan ribuan kata yang tak bisa semua terucap namun terangkai lengkap dalam sebuah perjalan hidup menemukan dan ditemukan..
Dan inilah jejak yang telah terlanjur ditapaki seseorang yang masih dalam mujahadah yang besar untuk menjadi shalihah..***


Lahir dari keluarga yang bisa dikatakan paham akan agama, norma, terlebih lagi hukum islam. Dalam keluarga yang familyable, setiap anggota keluarga menjalankan fungsinya masing-masing dengan sangat baik, sampai pada pola pendidikan yang sangat islami dan cenderung terlihat mengekang dengan penjagaan yang lumayan super ketat dan terprogram rapih. Dengan membersamai kedua orangtua yang kesibukannya tiada lepas dari membersamai jama’ah, terus berishlah bersama jama’ah dan dapat dikatakan sempurna sudahlah polanya, pola dalam menjaga keluarga seperti dalam kalamNya :

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ...”
 At tahrim :6


 Namun begitulah sempurnanya dalam pandangan kasat mata manusia, tanpa perkiraan bahwa setiap insan terlebih banyak membersamai keburukan dan asyik dengannya. Syetan menjadikannya indah dan tanpa sadar terlampau jauh dan jatuh dalam lingkaran yang jauh dari memuji kebesaran Allah. Itulah ia dengan sempurnanya kedua orangtua dalam menempuh jalanan sebagai seorang abid Allah, namun si Aku tiada tersentuh dalam visi besar orangtuanya. Barangkali  bukan tidak tersentuh, namun dalam perjalanan ia sebagai seorang anak, ia menemukan banyak sekali kebosanan, bosan dengan kebaikan, bosan dengan kondusifnya keadaan, bosan dengan segala aktifitas yang menenggelamkan dalam kecintaan pada RabbNya. Barangkali mungkin ia memang menginginkan hal yang ia pun bisa sama rasakan bersama dengan teman sepergaulannya, layaknya seorang gadis yang dapat pula merasakan cinta dalam kacamata remaja. Bukan hanya satu atau dua tapi lebih dari tiga. Ia pernah terjerumus dalam lingkaran “ayah-bunda” versi cinta remaja. Dalam pandangannya, ini adalah suatu fase yang biasa dan harus dilalui, pacaran adalah suatu hal yang sangat wajar untuk ia dan masanya. Pertama kali ia jatuh dalam cinta versi dirinya, dengan teman satu kelas yang dalam kriteria standar termasuk laki-laki yang good looking, pintar di kelas dan cukup dikenal banyak orang. Pacaran dalam pandangannya ketika itu, hanya sebatas surat menyurat dengan kalimat cinta atau rindu yang dituangkan dalam satu lembar kertas surat yang dibubuhi minyak wangi. Namun itu pacaran dalam versi ia sebelum masuk ke sekolah menengah atas. Dan kala itu, ia sudah melewati masa cinta versi surat menyurat tapi cinta versi anak SMA dengan segala ragam budaya pacarannya, entah itu dengan dibumbui belajar bersama dan  lain sebagainya. Selama SMA bukan hanya sekali atau dua kali tapi beberapa kali ia kadung kecemplung dalam pola yang semakin dirasa biasa, pun saat itu ia masuk dalam lingkaran cinta pekanan yang setiap pertemuan tidak bosan-bosannya menasehati tentang hal itu, namun tiada satupun yang mampu merubah ia. Ia masih kokoh dengan kejahilannya yang tiada terasa itu. Begitu rumit perjalanannya kala itu, di masa-masa yang seharusnya produktif dengan menumbuhkan visi untuk membuat karya besar, ia habiskan waktunya dengan hal yang menyenangkan versinya.





***
Sambungbersambung...


 

0 comments:

Posting Komentar