10/07/2016

Sebuah Kisah dari Si Aku #2

....Sambungan dari sebelumnya...
*
*
*
Dalam masa-masa menunggu lulusnya sekolah jenjang menengah ini, ia bertekad besar untuk masuk sebuah universitas ternama di jakarta, mulailah ia dengan berbagai cara agar mampu masuk dan membuktikan pada orang-orang yang dikasihinya bahwa dengan kejahilannya itu pun ia mampu tembus universitas impian. Namun sebuah tekad besar apabila tanpa restu besar dari kedua orangtuanya maka hasilnya akan minus bertambah-tambah, pasalnya semua jalur penerimaan ia lalui semua, dibarengi dengan terus menerus latihan mengerjakan soal-soal SPMB, namun itulah jalan yang memang Allah kehendaki polanya, semakin ia bertekad besar untuk masuk universitas semakin pula kedua orangtuanya memberi beberapa pilihan yang tidak ia kehendaki, dan bahkan bukan tidak ia kehendaki tapi tidak ia sukai. Bapak memberi pilihan untuk fokus belajar Al Qur’an,  yaa tahfidzul Qur’an, so what ? ini hal yang bukan hanya tidak mungkin, namun jauh dari sesuatu yang ia sukai. Tapi sekeras-kerasnya seorang anak, ketika ia melihat kedua orangtuanya maka tiada kata melainkan ingin taat kepadanya...
Dan memang jalan itu semakin terbuka pancarannya, meskipun belum bersinar tapi dari situlah pintunya. Karena akhirnya memang ia tidak Allah izinkan sesuai dengan pengharapannya masuk kampus impian dan feel free, Allah tidak izinkan untuk masuk dalam kebebasan dunia yang baginya adalah bahagia. Dengan sangat terpaksa dan hati yang belum tertata, akhirnya ia mengikuti apa yang dikehendaki kedua orangtuanya, masuk ke lembaga tahfidz dan tenggelam bersama didalamnya. Ia menemukan banyak oase-oase di padang pasir nan gersang lalu sejuk seketika, damai seketika dan sakinah dalam hatinya seketika. Masuk pada lingkaran yang jauuh dari bayangannya dalam menatap masa depan.
            Rumah Qur’an STAN, jejak pertama yang ia tapaki bersama kasih sayang Allah dalam hidayahnya yang begitu tak terasa, termenung dan syahdu dalam qalbu ketika sang diri berada diantara hamba-hambaNya yang dalam berucappun selalu kembali padaNya, laku yang tertata indah dalam syariatnya, tauladan yang tidak pernah merasa baik di mata Allah dan RasulNya, itulah mereka kakak-kakak yang dengan lembut membawa rasa yang berada di dasar ini untuk tidak menolak sentuhannya, yang shalat malamnya tidak  ditemukan dalam keramaian, yang dzikir malamnya tidak ditemukan dalam kelalaian, izinkan diri ini memanggil kakak dengan bahasa ahlullah wa khossotuhu, bukan hanya Al Qur’an yang berjalan, namun setiap akhlaqnya memang bersumber dari kehendak Allah dalam kitabNya, izinkan diri ini menyebut satu persatu nama yang hari ini hanya terkenang dalam ingatan membersamai mereka dalam cinta di Rumah Qur’an STAN, mereka adalah Kak Azmi, Kak runa, Kak Umi, Kak Arifah, Kak desi, Kak Risa, Kak Risi, Kak Atika, Mba Olif, Mba Umul, Mba iyuk dan terutama Mba Dewi musyrifah tercinta, yang pabila bukan karena ikhtiarnya mengajari si aku dalam memperbaiki bacaan Al Qur’an, tentulah bacaannya masih sekelas anak-anak TPA yang baru mengenal huruf-huruf hijaiyah, namun berkat tangan, bahasa pengajaran dan do’anya juga beroleh perbaikan yang bukan hanya baik dan manfaat bagi diri namun bagi sekitarnya pula. Jazakumullah khairan jaza telah menjadi washilah terjadinya proses akselerasi diri dalam satu tahun terakhir bersama para Ahlullah.
            Dalam proses pengembalian diri ke fitrahnya, ternyata hatinya masih berada dalam putih abu-abu karena disatu sisi ia berada dalam kondisi yang secara otomatis membuat ia berubah dan berikhtiar lebih untuk mencintaiNya, disisi lain ia masih berada dalam keabu-abuan karena masih dalam keliru bersama dengan kakak kelasnya yang berniat besar untuk menuju ke jenjang pernikahan. Dibalik  abu-abu itu terdapat banyak sesuatu yang besar dan mengharuskan ia mengambil keputusan, agar semua menjadi satu warna. Pabila kembali diratapi kala itu, rasa suka yang sudah terlanjur dalam tentu sangat mendominasi dan banyak memberi opsi, “ngafal Qur’an sambil punya pacar gak masalah loh yaa, yang penting fokus satu-satu” dan suatu hal yang tidak mungkin jika hubungan yang sudah berjalan sekitar lima belas bulan itu berakhir dengan tidak berujung dalam niatan besar sebuah pernikahan. Akhirnya sampailah pada suatu malam yang entah kenapa, padahal tidak ada input apapun yang masuk dalam dirinya sehingga ia memutuskan suatu keputusan besar untuk mengakhiri keabu-abuan itu dalam pesan singkat “Aku punya cita-cita memiliki anak shalih dan shalihah, tapi bagaimana bisa mereka lahir dari seorang Ibu yang gemar bermaksiat, yang dalam proses pencarian Si Ayah anak Shalih dan Shalihah itu ternyata melalui jalan yang tidak Allah sukai dan sangat tidak Allah Ridhoi” melalui pesan singkat yang banyak membuat bergetarnya diri inilah akhirnya hubungan itu berakhir, dan jawaban dari seseorang diseberang sana itu baru terbalas tiga bulan kemudian dengan percakapan yang amat baik dan berakhir dengan baik pula, saling memaafkan setiap kesalahan dan kemaksiatan kami dan pesan terakhir darinya “Maaf untuk berpisah dek”. Seketika itu air mata langsung menghujani banyak-banyak keputusan ini, antara proses perbaikan diri dan proses menghentikan segala bentuk perasaan terhadapnya. ***
            Beberapa waktu berlalu setelah aktif dalam kebiasaan membersamai Al Qur’an dan berniat besar mengkhatamkannya, bukan hanya menjadikan hafalan sebagai kunci memperoleh syurga, namun dari Al Qur’anlah segala laku mampu mendominasi dalam sikap kesehariannya. Menghafal Al Qur’an bukan lagi soal kewajiban namun soal kebutuhan yang kala tak sengaja terlewati maka diri akan otomatis melemah penguasaannya. Tentu bukan hanya menghafal, namun ada beberapa kewajiban lain lagi terhadap Al Qur’an yaitu muraja’ah, tadabbur, dan tabhligh. Kesemuanya itu adalah hal yang harus dilewati proses per Fasenya. Bukan hanya menghafal karena menghafal lebih mudah daripada muraja’ah, muraja’ah pun lebih mudah daripada mentadabburi, mentadabburi juga lebih mudah daripada Tabligh dengan sangat baik sesuai dengan perintah Allah dan RasulNya dalam kalam cinta ini.

Institut Ilmu Al Qur’an Jakarta (IIQ Jakarta) disinilah akhirnya Allah labuhkan untuk banyak-banyak mengambil hikmah (Red : Pelajaran sesungguhnya). Dan menjadi seorang Miba di Tahun 2014san, lika liku selama berada dalam lingkungan yang berbeda  fikroh ini terasa sekali awalnya dan dari sinilah mulai belajar lebih banyak lagi tentang berbagai fikroh terutama tentang hukum-hukum islam karena mengambil konsentrasi Hukum Ekonomi Islam. Di IIQ kami bukan hanya dituntut untuk memiliki prestasi di akademik namun di Tahfidz juga harus seattle. Keduanya adalah dimensi yang tidak mungkin terpisah, kuliah lancar hafalan lancar lalu lulus sarjana dan Hafidzoh. Dan setiap proses pasti memiliki ujiannya masing-masing, ujian itu datang untuk menguji seberapa kesungguhan kita, datangnya pun bisa jadi setiap waktu dan di setiap waktu itulah kami dituntut untuk membuat keduanya berjalan seiringan bersama dengan baik. Pun lebih banyak tidak seimbangnya, tapi bukan berarti menyurutkan langkah untuk berhenti dan angkat tangan lalu pergi. Alhamdulillah sudah masuk semester V dan disinilah ujian terberat sebenarnya, di semester inilah tingkat keseriusan belajar harus lebih ditingkatkan menjadi sekala yang bukan hanya serius tapi seriburius. Semoga Allah selalu membersamai dalam proses istiqomah ini aamiin.






***bersambuungg...*** 

0 comments:

Posting Komentar