*
*
*
Dalam masa-masa menunggu lulusnya sekolah jenjang menengah ini, ia
bertekad besar untuk masuk sebuah universitas ternama di jakarta, mulailah ia
dengan berbagai cara agar mampu masuk dan membuktikan pada orang-orang yang
dikasihinya bahwa dengan kejahilannya itu pun ia mampu tembus universitas
impian. Namun sebuah tekad besar apabila tanpa restu besar dari kedua
orangtuanya maka hasilnya akan minus bertambah-tambah, pasalnya semua jalur
penerimaan ia lalui semua, dibarengi dengan terus menerus latihan mengerjakan
soal-soal SPMB, namun itulah jalan yang memang Allah kehendaki polanya, semakin
ia bertekad besar untuk masuk universitas semakin pula kedua orangtuanya
memberi beberapa pilihan yang tidak ia kehendaki, dan bahkan bukan tidak ia
kehendaki tapi tidak ia sukai. Bapak memberi pilihan untuk fokus belajar Al
Qur’an, yaa tahfidzul Qur’an, so what ?
ini hal yang bukan hanya tidak mungkin, namun jauh dari sesuatu yang ia sukai.
Tapi sekeras-kerasnya seorang anak, ketika ia melihat kedua orangtuanya maka
tiada kata melainkan ingin taat kepadanya...
Dan memang jalan itu semakin terbuka pancarannya, meskipun belum
bersinar tapi dari situlah pintunya. Karena akhirnya memang ia tidak Allah
izinkan sesuai dengan pengharapannya masuk kampus impian dan feel free, Allah
tidak izinkan untuk masuk dalam kebebasan dunia yang baginya adalah bahagia. Dengan
sangat terpaksa dan hati yang belum tertata, akhirnya ia mengikuti apa yang
dikehendaki kedua orangtuanya, masuk ke lembaga tahfidz dan tenggelam bersama
didalamnya. Ia menemukan banyak oase-oase di padang pasir nan gersang lalu
sejuk seketika, damai seketika dan sakinah dalam hatinya seketika. Masuk pada
lingkaran yang jauuh dari bayangannya dalam menatap masa depan.
Rumah Qur’an STAN,
jejak pertama yang ia tapaki bersama kasih sayang Allah dalam hidayahnya yang
begitu tak terasa, termenung dan syahdu dalam qalbu ketika sang diri berada
diantara hamba-hambaNya yang dalam berucappun selalu kembali padaNya, laku yang
tertata indah dalam syariatnya, tauladan yang tidak pernah merasa baik di mata
Allah dan RasulNya, itulah mereka kakak-kakak yang dengan lembut membawa rasa
yang berada di dasar ini untuk tidak menolak sentuhannya, yang shalat malamnya
tidak ditemukan dalam keramaian, yang
dzikir malamnya tidak ditemukan dalam kelalaian, izinkan diri ini memanggil
kakak dengan bahasa ahlullah wa khossotuhu, bukan hanya Al Qur’an yang
berjalan, namun setiap akhlaqnya memang bersumber dari kehendak Allah dalam
kitabNya, izinkan diri ini menyebut satu persatu nama yang hari ini hanya
terkenang dalam ingatan membersamai mereka dalam cinta di Rumah Qur’an STAN,
mereka adalah Kak Azmi, Kak runa, Kak Umi, Kak Arifah, Kak desi, Kak Risa, Kak
Risi, Kak Atika, Mba Olif, Mba Umul, Mba iyuk dan terutama Mba Dewi musyrifah
tercinta, yang pabila bukan karena ikhtiarnya mengajari si aku dalam
memperbaiki bacaan Al Qur’an, tentulah bacaannya masih sekelas anak-anak TPA
yang baru mengenal huruf-huruf hijaiyah, namun berkat tangan, bahasa pengajaran
dan do’anya juga beroleh perbaikan yang bukan hanya baik dan manfaat bagi diri
namun bagi sekitarnya pula. Jazakumullah khairan jaza telah menjadi washilah
terjadinya proses akselerasi diri dalam satu tahun terakhir bersama para
Ahlullah.
Dalam proses pengembalian
diri ke fitrahnya, ternyata hatinya masih berada dalam putih abu-abu karena
disatu sisi ia berada dalam kondisi yang secara otomatis membuat ia berubah dan
berikhtiar lebih untuk mencintaiNya, disisi lain ia masih berada dalam
keabu-abuan karena masih dalam keliru bersama dengan kakak kelasnya yang
berniat besar untuk menuju ke jenjang pernikahan. Dibalik abu-abu itu terdapat banyak sesuatu yang
besar dan mengharuskan ia mengambil keputusan, agar semua menjadi satu warna.
Pabila kembali diratapi kala itu, rasa suka yang sudah terlanjur dalam tentu
sangat mendominasi dan banyak memberi opsi, “ngafal Qur’an sambil punya
pacar gak masalah loh yaa, yang penting fokus satu-satu” dan suatu
hal yang tidak mungkin jika hubungan yang sudah berjalan sekitar lima belas
bulan itu berakhir dengan tidak berujung dalam niatan besar sebuah pernikahan. Akhirnya
sampailah pada suatu malam yang entah kenapa, padahal tidak ada input apapun
yang masuk dalam dirinya sehingga ia memutuskan suatu keputusan besar untuk
mengakhiri keabu-abuan itu dalam pesan singkat “Aku punya cita-cita memiliki
anak shalih dan shalihah, tapi bagaimana bisa mereka lahir dari seorang Ibu
yang gemar bermaksiat, yang dalam proses pencarian Si Ayah anak Shalih dan
Shalihah itu ternyata melalui jalan yang tidak Allah sukai dan sangat
tidak Allah Ridhoi” melalui pesan singkat yang banyak membuat bergetarnya
diri inilah akhirnya hubungan itu berakhir, dan jawaban dari seseorang
diseberang sana itu baru terbalas tiga bulan kemudian dengan percakapan yang amat
baik dan berakhir dengan baik pula, saling memaafkan setiap kesalahan dan
kemaksiatan kami dan pesan terakhir darinya “Maaf untuk berpisah dek”.
Seketika itu air mata langsung menghujani banyak-banyak keputusan ini, antara
proses perbaikan diri dan proses menghentikan segala bentuk perasaan terhadapnya.
***
Beberapa waktu
berlalu setelah aktif dalam kebiasaan membersamai Al Qur’an dan berniat besar
mengkhatamkannya, bukan hanya menjadikan hafalan sebagai kunci memperoleh
syurga, namun dari Al Qur’anlah segala laku mampu mendominasi dalam sikap
kesehariannya. Menghafal Al Qur’an bukan lagi soal kewajiban namun soal
kebutuhan yang kala tak sengaja terlewati maka diri akan otomatis melemah
penguasaannya. Tentu bukan hanya menghafal, namun ada beberapa kewajiban lain
lagi terhadap Al Qur’an yaitu muraja’ah, tadabbur, dan tabhligh. Kesemuanya itu
adalah hal yang harus dilewati proses per Fasenya. Bukan hanya menghafal karena
menghafal lebih mudah daripada muraja’ah, muraja’ah pun lebih mudah daripada
mentadabburi, mentadabburi juga lebih mudah daripada Tabligh dengan sangat baik
sesuai dengan perintah Allah dan RasulNya dalam kalam cinta ini.
Institut Ilmu Al Qur’an Jakarta (IIQ Jakarta) disinilah akhirnya
Allah labuhkan untuk banyak-banyak mengambil hikmah (Red : Pelajaran
sesungguhnya). Dan menjadi seorang Miba di Tahun 2014san, lika liku selama
berada dalam lingkungan yang berbeda
fikroh ini terasa sekali awalnya dan dari sinilah mulai belajar lebih
banyak lagi tentang berbagai fikroh terutama tentang hukum-hukum islam karena
mengambil konsentrasi Hukum Ekonomi Islam. Di IIQ kami bukan hanya dituntut
untuk memiliki prestasi di akademik namun di Tahfidz juga harus seattle.
Keduanya adalah dimensi yang tidak mungkin terpisah, kuliah lancar hafalan
lancar lalu lulus sarjana dan Hafidzoh. Dan setiap proses pasti memiliki
ujiannya masing-masing, ujian itu datang untuk menguji seberapa kesungguhan
kita, datangnya pun bisa jadi setiap waktu dan di setiap waktu itulah kami
dituntut untuk membuat keduanya berjalan seiringan bersama dengan baik. Pun
lebih banyak tidak seimbangnya, tapi bukan berarti menyurutkan langkah untuk
berhenti dan angkat tangan lalu pergi. Alhamdulillah sudah masuk semester V dan
disinilah ujian terberat sebenarnya, di semester inilah tingkat keseriusan
belajar harus lebih ditingkatkan menjadi sekala yang bukan hanya serius tapi
seriburius. Semoga Allah selalu membersamai dalam proses istiqomah ini aamiin.
***bersambuungg...***
0 comments:
Posting Komentar